Prapti Karto Suharjo
Ruang dimana saya menulis ide, gagasan, opini, dan segalanya yang terjadi di dunia ini
Selasa, 19 Januari 2021
Senin, 12 Oktober 2020
FILSAFAT JAWA KIDUNGAN “ ANA KIDUNG RUMEKSA ING WENGI” Oleh : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa di Surakarta, No.HP. 081329405977
Filsafat Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang filsafat yang
bertumpu pada pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa.
Filsafat Jawa sebenarnya juga tergolong pada filsafat Timur, yang
umumnya berdasarkan pada pemikiran para filsuf di India dan Tiongkok,
meskipun saat ini filsafat Jawa belum diakui sebagai bagian dari
filsafat Timur tetapi pada dasarnya filsafat Jawa memiliki kesamaan
dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam filsafat India.
Filsafat Jawa seperti halnya filsafat lainnya, pada dasarnya bersifat
universal. Jadi filsafat Jawa meskipun dilahirkan dari hasil kebudayaan
Jawa tetapi sebenarnya bisa berguna bagi orang-orang di luar Jawa juga.
Meski bersifat universal, filsafat Jawa atau filsafat Timur pada umumnya
memiliki perbedaan dengan filsafat Barat. Dalam filsafat Timur,
termasuk juga filsafat Jawa tujuannya adalah untuk mencapai
kesempurnaan, sementara filsafat Barat tujuannya adalah kebijaksanaan.
Penulis sengaja membuat artikel ini sekaligus meluapkan rasa
kangen kepada Orang Tua yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang
lalu. Kenapa kidungan?. Karena sewaktu masih ada Orang Tua selalu
menyanyikan kidungan itu sebagai senandung jiwa yang muncul dari lubuk
hati yang paling dalam. Senandung jiwa tersebut disaat mengungkapkan
perasaan yang sedang bahagia bersama anak-anaknya yang selalu dalam
lindungan Allah SWT. Kebetulan Orang Tuaku adalah Orang Jawa yang
mempunyai kebiasaan ngidung atau nembang.
Baik ngidung maupun nembang , keduanya sama-sama menjadi klangenan
mereka dalam merefleksi hidup. Seringkali kebiasaan itu berjalan
beriringan dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, atau
yang biasa disebut klenengan, juga tidak lupa wayangan semalam suntuk
dengan radio kesayangannya.
Pada sore hari selepas bekerja, di pedesaan kerap menyenandungkan
tembang-tembang Macapat. Ada sebuah ketenangan batin yang dirasakan
setiap kali bait demi bait dinyanyikan. Demikian pula dengan sebuah
tembang atau kekidungan, yang diberi judul Kidung Rumekso Ing
Wengi. Kidung ini juga dikenal dengan nama Mantra Wedha. Berdasarkan
cerita tutur, kidung ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu
Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Kidung ini biasa dinyanyikan pada malam hari, atau selepas shalat malam.
Sebagaimana maknanya, Kidung Rumekso Ing Wengi bertujuan menyingkirkan
diri dari balak atau gangguan, baik yang nampak maupun tidak. Kidung
ini juga mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih
dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti,
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Begini bunyinya,
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Arti bebasnya kurang lebih sebagai berikut : Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)
Penulis sendiri waktu itu belum tahu artinya sama sekali. Tetapi
anehnya setiap kali Orang Tua menyenandungkan kidungan itu, semua
anak-anaknya termasuk penulis yang mendengarnya segera terdiam. Lebih
aneh lagi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari anak-anaknya. Baru
setelah selesai kidungan anak-anaknya mengeluarkan kata-kata, biasanya
dalam bentuk pertanyaan. Namun demikian Orang Tua selalu menjawab
pertanyaan dari anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Bahkan sering
ditambah dengan kata-kata untuk selalu jujur, aja nyolong lan aja
ngapusi ( jangan mencuri dan jangan bohong ), berdoa-terus menerus dan
selalu mendekat kepada Allah.
Dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi dibahas tentang hal-hal yang bersifat
keagamaan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat Jawa dalam menghadapi
datangnya jaman edan atau jaman kala bendhu dan kalatidha. Jaman
Kalabendu; (Kala: Jaman, masa; Bendu: marah; kalau dikatakan antuk
bebenduning Pangeran, artinya mendapatkan amarah atau hukuman dari
Allah. Mengapa Tuhan marah? Tentunya karena perbuatan manusia di dunia
sudah melampaui batas, terlalu banyak melanggar hukum-hukum Allah).Dalam
“Sarine Basa Jawa”, Padmasukatja (1967) disebutkan “Kalabendu” sebagai
jaman dimana kesusilaan manusia sudah rusak. Ada pengaruh “Bathara Kala
disitu”.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa
dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi mempunyai tujuan agar manusia dalam
hidup di dunia ini harus selalu beriman kepada Allah. Sebagai seorang
Muslim dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh dengan gelombang,
tidak merasa bimbang, tidak ragu-ragu menghadapi persoalan yang sedang
dihadapi. Berpikir yang cerah, hati terasa tenang dan tentram, mempunyai
pendirian yang kuat serta mempunyai sikap optimis dalam hidup. Yaitu
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah. Ingatlah Allah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tentram ( QS.al-Ra’d:28 ). Tanpa keimanan dan kehidupan yang
berdasarkan kepentingan duniawi semata, maka perbuatan manusia akan
sia-sia.
Dibaca dari kata-kata bait pertama “Ana kidung rumeksa ing wengi” ( ada nyanyian yang menjaga di malam hari ), ternyata Sunan Kalijaga ingin menngajak umat Islam saat itu untuk membaca dan mengamalkan sungguh-sungguh Kidungnya ini demi keselamatan di malam hari. Sebab dengan cara Kidungan niscaya mereka akan selamat dari berbagai macam kejahatan yang berasal dari jin., setan dan manusia yang menggunakan ilmu hitam. Hal ini merupakan pemahaman atau penjelasan Sunan Kalijaga atas Surah al- Falag dan an-Nas. Selain beriman, yaitu untuk lebih fokus kepada kehidupan nyata ( menjadi manusia yang selalu waspada, legawa/ hati yang lapang ). Dan yang terkhir yaitu hubungan manusia dengan Tuhan. Setiap perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar, syukur dan pasrah kepada Allah. Apabila ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat dikabulkan oleh Allah, dapat tercapai semua yang diinginkan.
Jadi hanya dengan memohon perlindungan kepada Allah, karena Dia yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam, yang menjadikannya muncul di tengah kegelapan malam. Biasanya kejahatan atau kesulitan muncul di malam hari atau direncanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan dari manusia, binatang dan sebagainya. Dengan meyakini bahwa Allah adalah yang mampu membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi seseorang akan yakin pula bahwa Allah juga mampu menyingkirkan kejahatan dan kesulitan baik kapan dan dimanapun akan muncul pertolongan untuk menyingkirkan kesulitan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Diterbitkan :
Kamis, 15 September 2016
SMPN 8 Solo Ajari Siswa Berlatih Qurban
Kepala SMP Negeri 8 Surakarta, Nugroho, S.Pd.M.Pd menyatakan, sholat Idul Adha bertempat di masjid yang berada didekat rumah masing-masing. Disampaikan saat rapat koordinasi selain membentuk panitia, yang digelar Kamis (8/92016)