Rabu, 10 Agustus 2016

Laporan Wartawan

Share it Please
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Labib Zamani
TRIBUNSOLO.COM, SOLO –

Bacakan weton atau syukuran hari lahir, sekarang ini sudah mulai pudar.

Bahkan, perhatian pemerintah terhadap tradisi ini pun sudah mulai berkurang.

Padahal tradisi yang sudah dilakukan warga masyarakat secara turun-temurun ini merupakan kekayaan budaya dan kesenian yang dimiliki Indonesia.

Namun bangsa (Indonesia) sudah mulai meninggalkan budaya yang dimiliki itu.

Menurut Guru Bahasa Jawa SMPN 8 Surakarta, Dra Sri Suprapti, sudah saatnya pemerintah kembali melestarikan tradisi bancakan weton.

Karena tradisi bancakan weton sampai saat ini masih ada, walaupun sudah jarang yang melakukannya.
Tradisi bancakan weton merupakan budaya yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai agama dan kepercayaan.

Sebagian masyarakat masih melakukan budaya bancakan weton, bahkan dari berbagai agama baik itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

Seperti dalam masyarakat Jawa, dikisahkan seorang sahabat tentang bagaimana sang ibu selalu mengusahakan membuat bancakan weton sedari kecil sampai akil balig.

Persepsi tentang wacana yang menyatakan bahwa bancakan weton tidak sesuai dengan ajaran agama, tidak sepenuhnya ditaati masyarakat.

Kota Surakarta (Solo) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Jawa.
Dibuktikan dengan adanya dua pusat peradaban kebudayaan Jawa yang masih bisa dilihat, yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran.

Perkembangan kebudayaan menjadi sangat pesat, di samping terus bergeraknya arah peradaban menuju modernisasi dan globalisasi.

Masih ada sisa tradisi budaya yang masih diuri-uri oleh sebagian masyarakat di Surakarta.

“Mereka berpendapat bahwa budaya ini memiliki relevansi dan memiliki manfaat bagi masyarakat pendukungnya,” kata Suprapti kepada TribunSolo.com, Minggu (24/7/2016).

Adapun bancakan, ujarnya, merupakan pernyataan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilannya.

“Perlengkapan untuk bancakan weton ini ada nasi urap (gudangan), telur rebus, dan juga jajan pasar.”
Tradisi hari kelahiran dilakukan masyarakat berdasarkan perhitungan kalender Jawa yang berputar selama 35 hari.

Artinya diperingati setiap 35 hari sekali.

Orang Jawa memiliki tradisi yang disebut selapanan, yaitu memperingati weton kelahiran dengan melakukan laku prihatin.

Misalnya dengan lelaku puasa ngapit (puasa tiga hari yaitu pada hari weton ditambah satu hari sebelum dan sehari sesudahnya), mutih ( selama beberapa hari hanya makan nasi putih dan minum air putih tawar saja tanpa puasa, jadi boleh makan dan minum kapan saja).

Ada pula lelaku puasa tiga hari sebelum weton, lima hari sebelum weton dan berbagai jenis cara puasa lainnya.

Seperti melek (tidak tidur) selama 24 jam dimulai saat matahari terbenam saat masuk hari wetonnya diakhiri ketika matahari terbenam di hari wetonnya sambil menghidangkan sesaji berupa variasi empat warna bubur dan sesaji lainnya yang memiliki arti simbolik yang luhur.

Tulisan ini termuat di Tribunsolo.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar