Oleh : Dra. Sri
Suprapti, Guru Bahasa jawa SMP Negeri 8 Surakarta, No. Hp. 081329405977
Membaca Solopos hari Jumat, 05
Agustus 2016 dengan judul “ 15 Bahasa
Daerah Punah” saya sebagai guru Bahasa Jawa akan sedikit menanggapi apa yang dikatakan oleh Kepala Badan
Pengembangan dan pembinaan Bahasa Kemeneterian Pendidikan dan Kebudayaan,
Dadang Sunendar bahwa 617 bahasa yang diidentifikasi oleh Badan bahasa
Kemendikbud, sebanyak 15 bahasa daerah dinyatakan punah. Sebagai orang Jawa
akan berusaha untuk mempertahankan bahasa juga budaya Jawa itu sendiri. Apapun
yang bisa dilaksanakan akan tetap dilakukan dengan ikhlas. Dengan
keikhlasan semua akan mendapatkan hasil
sesuai yang diharapkan. Jujur saja bahwa, untuk menghadapi masalah kepunahan
memang seperti itu keadaannya. Bahasa jawa sendiri amat jarang digunakan oleh
orang-orang yang nota bene adalah asli orang Jawa. Orang tua selalu mengajarkan
anak –anaknya menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai guru SMP sering saya
melihat anak-anak didik saya yang baru masuk kelas VII. Mulai masuk pertama
kali yang didengung-dengungkan adalah bahwa orang tua wajib mengantarkan
anaknya sampai di sekolahan. Sedangkan masyarakat Jawa mempunyai pemikiran yang
dituangkan dalam salah satu nyanyian sperti ini : Saiki aku wis gedhe, sekolah
mangkat dhewe, ora usah dieterake, bareng karo kancane, yen mlaku turut
pinggiran, ora perlu gojegan, neng ndalan akeh kendaraan, mengko mundhak
tabrakan. Artinya : Sekarang aku sudah besar, sekolah berangkat sendiri, tidak
usah diantarkan, bersama temannya, kalau berjalan lewat pinggir / tepi, tidak
boleh bermain-main, di jalan banyak kendaraan, nanti kalau tertabrak.
Masyarakat Jawa, mempunyai pendapat
bahwa dengan tidak mengantarkan anaknya ke sekolah itu karena beberapa masalah.
Anak yang sudah bertambah besar tidak harus diantarkan sampai sekolahan tetapi
cukup diberi pengertian dengan penuh kasih sayang. Kalau sudah besar harus bisa
mandiri, berangkat sendiri, bersama temannya ini juga mendidik untuk mempunyai
rasa sosial dengan temannya, tidak boleh bermain di jalan itu merupakan
ajaran sopan santun kalau sedang
berada dijalan. Bahkan masih tetap
diberitahu akibat yang akan terjadi kalau di jalan harus bisa menjaga dirinya
sendiri karena kalau tidak akan terjadi kecelakaan yaitu tabrakan. Di dalam
pengamatan saya, anak-anak yang diantar orang tuanya sampai di depan sekolahan
setelah diturunkan dalam boncengannnya ternyata anak yang melewati guru –guru
yang sedang menunggu di gerbang banyak yang diacuhkan saja. Jadi menurut saya
bahwa orang tua itu lupa untuk mengajarkan anaknya untuk selalu sopan dan
hormat di depan orang tua dan guru. Saya yakin bahwa setiap guru akan selalu
mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bersikap sopan dengan orang tua dan
guru, tetapi belum tentu bagi “orang tua”. Banyak sekali orang tua menganggap
anaknya itu selalu baik-baik saja. Mereka orang tua sudah banyak yang dibohongi
anak-anaknya. Sebagai contoh, orang tua yang tidak tahu akan kemajuan
teknologi, anaknya meminta hp atau laptop untuk sarana atau alat mencari materi
yang diberikan oleh guru. Memang dibelikan dengan alasan sebagai pandukung
pembelajaran bagi anaknya. Tetapi orang tua tidak berusaha untuk menunggu atau
ikut melihat semua yang sedang dilihat oleh anaknya dengan alasan repot atau
bahkan alasan yang sangat fatal adalah karena tidak bisa / tidak tahu. Padahal
dengan ketidak tahuan orang tua akan dimanfaatkan oleh anaknya dengan melihat
hal-hal yang belum selayaknya bagi anak-anak seusia pelajar. Tetapi kalau sudah
terjadi barulah orang tua menyesal dengan tindakannya dan hp barulah
disita, sedangkan anaknya sudah
terlanjur kecanduan. Siapa yang harus disalahkan ?. Kembali ke bahasa Jawa,
jaman sekarang banyak orang tua mengajarkan anak-anaknya di rumah mulai dari
kecil sudah diajarkan menggunakan bahasa Indonesia. Orang tua mungkin
menganggap bahwa menggunakan bahasa Indonesia akan lebih baik dari pada bahasa
Jawa. Bahkan banyak yang mengganggap menggunakan bahasa Jawa adalah kuno, kolot
bahkan malu kalau dianggap sebagaiorang yang
berasal dari desa pelosok. Padahal kalau diteliti dengan baik,
menggunakan bahasa Jawa akan terlihat amat sangat terhormat. Kenapa demikian ?
Sebagai contoh, kalau menggunakan bahasa Indonesia “makan” . Bapak, Ibu,
anjing, ayam, adik, nenek, burung, ikan, dll. semua menggunakan kata makan.
Tetapi kalau menggunakan bahasa Jawa akan berbeda. Bapak dhahar, Ibu dhahar, asu mbadhog, pitik nothol, adhi maem.
Apakah anda mau kalau bapak , ibu, adik, nenek anda disamakan dengan anjing
atau ayam ataupun yang lain ? Sebenarnya
belum ada sejarahnya kalau anak itu mulai sejak kecil dididik dengan
menggunakan bahasa Jawa kemudian besarnya tidak bisa menggunakan bahasa
Indonesia. Tetapi sebaliknya, anak yang sejak kecil dididik menggunakan bahasa
Jawa kemudian kalau sudah besarnya anak itu akan lancar dengan menggunakan
bahasa Jawa bahkan bahasa Indonesia yang
kecilnya jarang digunakan maka okan otomatis lancar juga. Bagaimanakah dengan
anda?
Akankah di rumah anda ajarkan menggunakan bahasa Jawa ataukah tetap mengajarkan anak anda menggunakan bahasa Indonesia ? Saya amat prihatin ketika anak lulusan SD yang baru masuk di SMP, ketika bercerita menggunakan bahasa Jawa yaitu : Bapak kala wau siyang sare wonten ngajeng TV, lajeng kula siram ( artinya Bapak tadi siang tidur di depan TV, terus saya mandi). Orang yang tidak tahu bahasa Jawa akan tidak terjadi apa-apa, tetapi yang tahu akan langsung komentar. “ Bapak kamu pasti marah “, kenapa ? karena kata siram artinya yang lain adalah di siram. Bagaimana kalau bapak yang sedang tidur kemudian disiram ?Kata siram di sini artinya adalah mandi bagi orang yang lebih tua dari kita. Jadi tidak pantas bagi anak kecil, karena anak menggunakan kata adus.Ternyata orang tua terutama masyarakat Jawa itu sendiri amat sangat mendukung sekali punah dan tidaknya bahasa Jawa di kehidupan manyarakat Jawa. Bahkan kalau mau memahami budaya Jawa akan sangat sulit membiarkannya hilang, karena budaya Jawa terlalu banyak yang bisa digunakan sebagai pegangan hidup di dunia ini. Ada aksara Jawa yang juga banyak misteri yang bisa dikuak di dalamnya. Juga ada ungkapan dari orang Jawa yang tidak boleh dilakukan karena kalau melakukan akan mendapatkan akibatnya. Yang jelas banyak pelajaran yang bisa diambil dalam falsafah Jawa yang ada di ruang lingkup orang Jawa bahkan orang dari luar Jawapun sering menggunakan kata-kata yang ada dalam bahasa Jawa, misalnya guru itu sebagai digugu ( dipercaya ) lan ditiru ( dan dicontoh ). Ing Ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani, tulisan itu banyak ditemukan di mana-mana. Dan saya sendiri sebagai guru Bahasa Jawa masih yakin bahwa Bahasa Jawa tidak akan punah selama masyarakat Jawa itu masih hidup di bumi ini. Bahasa Jawa akan hilang kalau sudah tidak ada orang Jawa yang hidup di dunia ini. Masih terbukti sekarang banyak sekali di kantor-kantor pemerintahan ataupun swasta yang papan namanya menggunakan tulisan Jawa, juga di jalan-jalan atau kampung-kampung banyak tertulis dengan huruf Jawa. Di taman-taman juga banyak tulisan menggunakan huruf Jawa walaupun dibawahnya tetap tertulis latinnya. Saya merasa bangga, bahasa Jawa masih banyak digunakan dalam perhelatan pernikahan, pengajian, syukuran ataupun acara-acara yang lain. Bahkan sangat tersanjung sekali dengan adanya lagu “Oplosan” dan “Pokoke Njoged” yang menggunakan bahasa Jawa malah terkenal di seluruh Indonesia. Orang di luar Jawapun banyak yang bisa menyanyikan lagu berbahasa Jawa tersebut dengan senangnya, cara mengucapkan kata-katanyapun nyaris tidak ada yang salah. Mereka ( orang luar Jawa ) tidak mengira bahwa bahasa yang digunakan dalam menyanyikan lagu itu merupakan bahasa Jawa yang bukan miliknya, tetapi mereka menyanyikan dengan penuh semangat. Sekarang kita sebagai orang Jawa yang hidup di Jawa dan menggunakan bahasa Jawa juga dengan budaya Jawa yang terkenal dengan halusnya ( tarian Jawa ). Orang yang se hari-harinya hidup di dalam keraton Yogyakarta ataupun Surakarta, mereka menggunakan adat Jawa dan menggunakan bahasa Jawa yang halus pula. Bagaimana dengan anda orang Jawa apakah bahasa Jawa yang halus ini akan dilupakan ? Apakah bahasa Jawa yang indah karena unggah-ungguhnya ini merupakan bahasa orang desa ? Kalau Bahasa Jawa yang kita cintai ini punah, bahasa apa lagi yang lebih indah dari bahasa Jawa ?
Akankah di rumah anda ajarkan menggunakan bahasa Jawa ataukah tetap mengajarkan anak anda menggunakan bahasa Indonesia ? Saya amat prihatin ketika anak lulusan SD yang baru masuk di SMP, ketika bercerita menggunakan bahasa Jawa yaitu : Bapak kala wau siyang sare wonten ngajeng TV, lajeng kula siram ( artinya Bapak tadi siang tidur di depan TV, terus saya mandi). Orang yang tidak tahu bahasa Jawa akan tidak terjadi apa-apa, tetapi yang tahu akan langsung komentar. “ Bapak kamu pasti marah “, kenapa ? karena kata siram artinya yang lain adalah di siram. Bagaimana kalau bapak yang sedang tidur kemudian disiram ?Kata siram di sini artinya adalah mandi bagi orang yang lebih tua dari kita. Jadi tidak pantas bagi anak kecil, karena anak menggunakan kata adus.Ternyata orang tua terutama masyarakat Jawa itu sendiri amat sangat mendukung sekali punah dan tidaknya bahasa Jawa di kehidupan manyarakat Jawa. Bahkan kalau mau memahami budaya Jawa akan sangat sulit membiarkannya hilang, karena budaya Jawa terlalu banyak yang bisa digunakan sebagai pegangan hidup di dunia ini. Ada aksara Jawa yang juga banyak misteri yang bisa dikuak di dalamnya. Juga ada ungkapan dari orang Jawa yang tidak boleh dilakukan karena kalau melakukan akan mendapatkan akibatnya. Yang jelas banyak pelajaran yang bisa diambil dalam falsafah Jawa yang ada di ruang lingkup orang Jawa bahkan orang dari luar Jawapun sering menggunakan kata-kata yang ada dalam bahasa Jawa, misalnya guru itu sebagai digugu ( dipercaya ) lan ditiru ( dan dicontoh ). Ing Ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani, tulisan itu banyak ditemukan di mana-mana. Dan saya sendiri sebagai guru Bahasa Jawa masih yakin bahwa Bahasa Jawa tidak akan punah selama masyarakat Jawa itu masih hidup di bumi ini. Bahasa Jawa akan hilang kalau sudah tidak ada orang Jawa yang hidup di dunia ini. Masih terbukti sekarang banyak sekali di kantor-kantor pemerintahan ataupun swasta yang papan namanya menggunakan tulisan Jawa, juga di jalan-jalan atau kampung-kampung banyak tertulis dengan huruf Jawa. Di taman-taman juga banyak tulisan menggunakan huruf Jawa walaupun dibawahnya tetap tertulis latinnya. Saya merasa bangga, bahasa Jawa masih banyak digunakan dalam perhelatan pernikahan, pengajian, syukuran ataupun acara-acara yang lain. Bahkan sangat tersanjung sekali dengan adanya lagu “Oplosan” dan “Pokoke Njoged” yang menggunakan bahasa Jawa malah terkenal di seluruh Indonesia. Orang di luar Jawapun banyak yang bisa menyanyikan lagu berbahasa Jawa tersebut dengan senangnya, cara mengucapkan kata-katanyapun nyaris tidak ada yang salah. Mereka ( orang luar Jawa ) tidak mengira bahwa bahasa yang digunakan dalam menyanyikan lagu itu merupakan bahasa Jawa yang bukan miliknya, tetapi mereka menyanyikan dengan penuh semangat. Sekarang kita sebagai orang Jawa yang hidup di Jawa dan menggunakan bahasa Jawa juga dengan budaya Jawa yang terkenal dengan halusnya ( tarian Jawa ). Orang yang se hari-harinya hidup di dalam keraton Yogyakarta ataupun Surakarta, mereka menggunakan adat Jawa dan menggunakan bahasa Jawa yang halus pula. Bagaimana dengan anda orang Jawa apakah bahasa Jawa yang halus ini akan dilupakan ? Apakah bahasa Jawa yang indah karena unggah-ungguhnya ini merupakan bahasa orang desa ? Kalau Bahasa Jawa yang kita cintai ini punah, bahasa apa lagi yang lebih indah dari bahasa Jawa ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar